Minggu, 19 Februari 2012

AKHIR DARI LONGDISTANCE RELATIONSHIP


Oleh Lia Noviastuti


Seharian tak ada kabar dari Ikhsan, kekasihku yang sedang bekerja jauh dari kampung halamanku. Hati ini gelisah tak menentu. Aku udah berpikiran positif tentang dia. Tapi saat ini aku hanya bisa bersabar. Aku tunggu sampai nanti malam, kalau sampai tidak ada kabarnya, mungkin kesabaranku udah habis. Aku hanya bisa melihat foto-fotonya, foto saat kita bersama. Aku mengingat kembali, kenangan yang selama ini aku jalanin sama Ikhsan.
            Begitu aku sangat menyayanginya, aku rela menempuh perjalanan yang tidak jauh untuk menemuinya yang sedang sakit. Sebagai kekasih yang baik, aku menjenguk dan memberi semangat untuk Ikhsan. Jantungku berdetag kencang saat Ikhsan menjadi imanku dalam sholat. Deg-degan dengan rasa yang senang. Aku selalu berdoa supaya kelak Ikhsan menjadi imam dalam sholat aku untuk selamanya. Begitu selesai sholat Ikhsan berkata,
            “Aku akan selalu mencintaimu.”
            Aku merasa senang dan nggak tau bagaimana caranya agar Ikhsan tau bahwa aku juga sangat mencintainya. Lewat perhatianku kepada Ikhsan, mungkin sudah menunjukkan bahwa aku benar-benar tulus mencintainya. Aku senang ketika dua hari aku ikut merawat Ikhsan yang sedang sakit, dan sekarang sudah sembuh. Kita menyempatkan jalan-jalan bersama sebelum Ikhsan meninggalkan kota ini.
            Tiba saatnya Ikhsan harus pergi lagi, aku merelakan Ikhsan untuk pergi. “Kunci utama kita dalah komunkasi, dan aku janji akan terus menyayangimu dan nggak akan meninggalkanmu.” Itulah kata-kata Ikhsan.
            Aku terus mengingat-ingat janji Ikhsan yang semakin meyakinkanku, kalau Ikhsan bisa menjadi pendampingku untuk selamanya.
            Tetapi… kenapa hari ini Ikhsan sangat berbeda sekali, enggak ada sms dari dia, nggak ada telpon dari dia. Ada apa sebenernya. Aku udah sangat bersabar. Walau sebentar pasti Ikhsan punya waktu luang kan? Cuma kirim sms aja masih sempat. Aku mencoba sms, tapi nggak dibales. Ya Tuhan, ada apa dengan Ikhsan?
            Aku sms dengan nada sedikit marah, tapi emang aku intinya marah, tetapi tetap tidak dibalas. Aku coba telpon.
            “Ikhsan?”
            “Owh Ikhsan lagi dibelakang, hp nya di cash, mau bicara sama Ikhsan?”
            “Iyaa…” Ikhsan mau bicara sama aku.
            “Kenapa? Marah sama aku, marah aja.” Tut..tut..tut
            Pulsaku habis, tapi kenapa Ikhsan malah ngomong seperti itu? Ada apa sih senenarnya. Aku berharap Ikhsan telpon balik aku, ternyata aku tunggu sampai pagi nggak juga telpon. Aku mencoba telpon lagi.
            “Ikhsan…”
            “Iya ada apa? Mau marah-marah?”
            “Aku Cuma…”
            “Kamu masih sayang nggak ma aku?”
            “Yang harusnya Tanya gitu aku, kamu masih sayang nggak ma aku?”
            “Nggak tau Nin, rasa sayangku ke kamu berkurang. Aku mau kita temanan.”
            “Apa?? Secepat itu? Aku nggak mau.”
            “Tapi aku udah nggak kaya dulu lagi.”
            Deg, sepertinya jantungku berhenti berdetak sesaat, setelah mendengar kata-kata itu tadi. Aku nggak bisa terima. Yang terakhir aku bilang yang pada intinya aku menunggu sampai Ikhsan pulang kembali kesini, baru kita ngomong baik-baik.
            Begitu banyak kenangan saat kita bersama yang sudah terlewatkan, tapi bagi Ikhsan kenangan itu nggak ada artinya apa-apa.

***
            Sebulan sudah berlalu ketika Ikhsan memutuskanku. Ikhsan akan pulang, dan aku siap untuk menemuinya. Aku menjadi orang pertama yang ditemui Ikhsan. Aku menemuinya dan aku sangat senang ketika bisa melihat senyumnya Ikhsan lagi, tapi dibalik senyumnya itu menyimpan sebuah tanda Tanya yang membuatku bingung. Ikhsan udah berbeda, udah nggak seperti dulu lagi. Aku juga udah menyiapkan sebuah tulisan untuknya jika kita jadi putus.
            “Hey,” sapa Ikhsan.
            “Apa kabar?” basa-basi.
            “Yaa seperti yang kamu lihat baik-baik aja kok, langsung aja ya, aku pengen menjelaskan kalau aku udah nggak seperti dulu. Aku pengen kita temanan, udah nggak cinta aku ma kamu. Kamu jangan terlalu sayang ma aku, aku dulu udah pernah bilang, kalau mencintai seseorang jangan berlebihan, nantinya bisa sakit hati. Masa depanmu masih panjang, kejarlah cita-citamu, aku selalu mendukungmu, meskipun aku sudah tidak ada sekalipun. Maafin aku ya Nin. Belajarlah untuk tidak menghubungiku, belajarlah untuk melupakanku” Sambil menatapku, tapi aku hanya menunduk dan nangis, sesaat Ikhsan memelukku.
            “Secepet itu kah? Aku kecewa.” Aku lari dan sambil memberikan kertas itu untuk Ikhsan. Ikhsan tidak mengejarku, hanya terdiam dan memulai jalan dan membuka kertas dari aku.

Cinta
Sebuah rasa yang sangat mendalam
Jika cinta datang kepadamu
Maka jagalah ia

Rindu
Sebuah rasa yang sangat menggebu
Jika rindu datang
Maka temuilah ia

Jika cinta dapat ku ambil
Maka aku akan ambilkan untuk kamu
Jika cinta dapat disentuh
Maka aku akan melakukan sentuhan itu untuk kamu
Jika cinta dapat diraih
Maka aku akan menggapainya untuk kamu
Jika cinta dapat berbicara
Maka aku akan mengatakan
Bahwa aku mencintaimu dengan rasa tulus dan sederhana

            Setelah membaca itu, Ikhsan sangat merasa bersalah kepadaku. Ikhsan memikir ulang perkataannya tadi, begitu bodoh dan tidak memikirkan perasaanku. Ikhsan terlihat sangat menyesal dan ingin kembali kepada ku, tetapi yang terjadi ketika Ikhsan akan menyebrang dan berbalik arah, mobil dengan kecepatan tinggi melintas dan menabrak Ikhsan. Darah bercucuran diaspal, kepala Ikhsan penuh dengan darah, orang-orang disekitar lalu menolongnya dan membawa ke rumah sakit. Keadaan Ikhsan sangat kritis.
            Ketika sedang diobati dokter, keluarga Ikhsan sudah datang di rumah sakit. Orangtua Ikhsan nangis dan berdoa terus untuk kesembuhan Ikhsan. Ikhsan masih sadar sebelum memasuki ruang ICU Ikhsan menyebut-nyebut nama Nina, nama ku. Kak Tina, kakak Ikhsan lalu menelponku.
            “Assalamu’alaikum, siapa ya?” kataku yang masih bersuara sumbang karena masih menangis.
            “Dek Nina, ini kak Tina. Ikhsan kecelakaan dek, dia panggil namamu terus. Ke rumah sakit sekarang ya.”
            “Apa kak?” aku kaget, panik. “Iya kak aku ke rumah sakit sekarang.”
            Dengan hati yang masih kacau, ditambah kabar Ikhsan yang kecelakaan membuatku sangat gelisah. Semoga Ikhsan baik-baik aja, aku terus berdoa sampai di rumah sakit. Orang tua Ikhsan menangis dan menunggu di ruang ICU, ketika aku datang lalu disambut kak Tina.
            “Ikhsan gimana kak?”
            Kak Tina hanya diam dan terus menangis. Dokter keluar dari ruang ICU,
            “Yang namanya Nina, ikut masuk ke dalam, Ikhsan memanggil Nina terus.” Kata dokter.
            Langkahku sangat berat untuk masuk, aku terus saja menangis. Melihat Ikhsan yang berbaring lemah, aku mendekatinya.
            “Nin…” suara Ikhsan lirih.
            “Iya ikhsan…”
            “Jangan nangis, maafin aku ya, aku emang laki-laki yang bodoh. Aku minta maaf.” Kata Ikhsan.
            “Ssttt… udah lah, aku maafin kamu.”
            “Aku sayang kamu…” tit..tit…tit
            Suara detak jantunya sudah tidak ada. itu tandanya, “Ikhsan…..” teriakku dan aku sangat begitu kehilangannya, dan sekarang untuk selamanya. Air mataku netes terus dan aku tak bisa berhenti menangis. Aku belum bisa terima kenyataan. Semua keluarga Ikhsan menangis dan kehilangan Ikhsan untuk selama-lamanya.

***
            Seminggu setelah Ikhsan meninggal, aku masih saja merasa sedih dan terbayang-bayang Ikhsan. Ikhsan memang begitu sempurna di mataku. Aku sangat sulit melupakan Ikhsan. Tapi aku nggak boleh terus-terusan begini. Aku mencari kesibukan dan aku akan mengejar cita-citaku, seperti kata Ikhsan dulu, “kejarlah cita-citamu, aku selalu mendukungmu, meskipun aku sudah tidak ada sekalipun.”