Rabu, 06 Juli 2011

KUASA PATRIARKI DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY


(Tinjauan Sastra Feminis)


Lia Noviastuti
10210141017


Abstrak
            Patriarki dalam kamus Bahasa Indonesia artinya adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak. Patriarkhi meletakkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai lelaki yang inferior. Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita.
     Novel karya Abidah El Khalieqi menunjukkan adanya keinginan untuk membuktikan bahwa kaum perempuan itu tidak lemah, dan bisa juga menjadi kuat melebihi kaum laki-laki. Perempuan tidak harus hidup di rumah. Perempuan juga boleh sekolah sampai Perguruan Tinggi. Didalam novel ini diceritakan kehidupan Annisa dari kisahnya sebagai perempuan yang tegar, sabar, cerdas dan pintar dari Annisa kanak-kanak sampai Annisa dewasa.
            Novel Perempuan Berkalung Sorban ini mengungkapkan tentang penindasan Annisa, tokoh utamanya yang selalu dituntut oleh bapaknya. Sampai dijodohkan dengan orang yang Annisa tidak suka. Annisa sangat menginginkan kemerdekaan bagi dirinya untuk dapat mewujudkan cita-citanya supaya bisa sekolah sampai Perguruan Tinggi.
Kata kunci : pariarki, kemerdekaan



A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Semakin banyaknya karya sastra novel dalam bentuk islami membuat para pembaca penasaran dan ingin sekali membacanya dan sebagai sebuah pengetahuan. Terlebih jika novel itu difilmkan. Semakin banyak yang ingin menonton dan semakin banyak pula yang ingin membaca novelnya, membuktikannya, apakah antara novel dan film itu sama. Setelah maraknya Ayat-ayat Cinta, sutradara Hanung Bramantyo membuat film dengan novel yang islami juga, yaitu Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqi.
Novel Perempuan berkalung Sorban menceritakan tentang Annisa (tokoh utama) yang menginginkan kebebasan dari pondok dan ingin kemerdekaan sebagai seorang perempuan. Novel karya Abidah El Khalieqi,  lahir di Jombang, Jawa Timur setamat Madrasah Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan menunjukkan adanya keinginan untuk membuktikan bahwa kaum perempuan itu tidak lemah, dan bisa juga menjadi kuat melebihi kaum laki-laki. Perempuan tidak harus hidup di rumah. Perempuan juga boleh sekolah sampai Perguruan Tinggi. Didalam novel ini diceritakan kehidupan Annisa dari kisahnya sebagai perempuan yang tegar, sabar, cerdas dan pintar dari Annisa kanak-kanak sampai Annisa dewasa.
Konflik cerita dimulai ketika Bapaknya Annisa menjodohkan Annisa dengan seorang laki-laki yang baru saja dikenalnya dan Annisa sendiri tidak menyukai laki-laki tersebut. Annisa selalu menuruti apa perintah Bapaknya untuk tidak melanjutkan sekolah lalu menikah dengan laki-laki tersebut.
Patriarki dalam kamus Bahasa Indonesia artinya adalah tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis turunan bapak. Patriarkhi meletakkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai lelaki yang inferior. Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita.
Dari latar belakang tersebut, novel ini dikaji lebih dalam, untuk membuktikan bahwa perempuan itu tidak bisa dipandang lemah dan perlu juga kemerdekaan.



2.      Rumusan Masalah
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqi, berdasarkan latar belakang di atas saya merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut :
a.       Kuasa patriarki seperti apakah yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban?
b.      Bagaimana sikap Annisa sebagai tikoh utama dalam menyelesaikan kuasa patriarki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban?


3.      Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, dapat saya rumuskan tujuan-tujan sebagai berikut :
a.       Mendeskripsikan kuasa patrirki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy dengan menggunakan analisis sastra feminis.
b.      Mendeskripsaikan sikap Annisa dalam menyelesaikan kuasa patriarki.


B.     Kajian Teori
1.      Tentang Patriarki
Suatu tingkatan penting dalam feminisme modern dicapai oleh Kate Millet dalam bukunya Sexual Politics (1970). Ia mempergunakan istilah “Patriarkhi” (pemerintahan ayah) untuk menguraikan sebab penindasan wanita. Patriarkhi meletakkan perempuan di bawah laki-laki atau memperlakukan perempuan sebagai lelaki yang inferior. Kekuatan digunakan secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi wanita. Meskipun ada kemajuan demokrasi, menurut Millet; wanita masih terus dikuasai oleh suatu system peranan-kejenisan yang stereotype yang menguasai mereka sejak muda. Ia meminjam dari ilmu pengetahuan kemasyarakatan pembedaan yang penting antara “seks” dan “jenis kelamin”. Seks ditentukan secara biologis, tetapi jenis kelamin adalah pengertian psikologis yang menunjuk secara kultural identitas seksual yang diperlukan. (Raman Selden, 1985:139)


2.      Pendekatan Fenimisme (kritik sastra feminis)
Menurut Djajanegara (2000:15) pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra feminis adalah salah satu kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-an. (Wiyatmi, 2006:113).
Menurut Djajanegara (2000:1-2) ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan munculnya gerakan feminism di Amerika. Pendapat pertama mengatakan bahwa pada waktu deklarasi Amerika 1776 antara lain dicantumkan bahwa all men are created equal, tanpa menyebut perempuan. Para feminis merasa bahwa pemerintah Amerika tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan perempuan. Maka dalam konvensi di Seneca Falls tahun 1848, yang dianggap sebagai awal timbulnya gerakan perempuan secara terorganisir dan dianggap sebagai women’s Great Rebellion (Pemberontakan Besar Kaum Perempuan), para tokoh feminis memproklamasikan versi lain dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang berbunyi: all men and women are created equal.
Menurut Djajanegara (2002:2) pendapat lain mengatakan bahwa aspek agamalah yang mendasari tumbuhnya gerakan feminisme di Amerika. Menurut pendapat ini, gereja bertanggung jawab atas kedudukan wanita yang inferior, karena baik agama protestan maupun khatolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Menurut ajaran Martin Luther dan John Calvin, walaupun pria dan wanita bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, tetapi wanita tidak layak bepergian, wanita harus tinggal di rumah dan mengatur rumah tangganya. Sementara itu, gereja Katolik beranggapan bahwa wanita adalah makhluk yang kotor dan wakil iblis; di gereja hendaknya wanita diam karena dia tidak diijinkan berbicara; para istri hendaknya tunduk kepada suami-suami kalian. (Wiyatmi, 2006:114)
Menurut Djajanegara (2002:2) pandangan lain yang mempengaruhi lahirnya feminisme adalah konsep sosialisme dan Marxis. Menurut pandangan ini, kaum perempuan merupakan suatu kelas lain, yaitu kelas laki-laki. (Wiyatmi, 2006:114).

3.      Kritik Sastra Feminis Ideologis
Kritik sastra feminis ideologis memfokuskan perhatian pada citra serta stereotype wanita dalam karya sastra. Kritik ini meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris tidak diperhitungkan sama sekali dalam kritik sastra.



C.     Metode Penelitian
Subjek penelitian ini adalah novel Perempuan Berkalung Sorban (Arti Bumi Intaran, 2009) karya Abidah El Khalieqi. Novel ini adalah novel cetakan ke 5. Data penelitian berupa gagasan patriarki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.
Teknik analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Teks novel dibaca dan dipahami, kemudian unsur-unsur yang mengandung gagasan kuasa patriarki dideskripsikan.
b.      Pengiidentifikasikan unsur-unsur fiksi yang merefleksikan gagasan tersebut.
c.       Gagasan kuasa patriarki tersebut kemudian diungkapkan dalam penelitian.




D.    Pembahasan
Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan fenimisme (kritik sastra feminis) karena novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang kisah pengorbanan seorang perempuan, Annisa yang sangat cerdas, pintar dan sabar dalam menghadapi berbagai cobaan. Baginya kaum perempuan itu tidak harus mengerjakan kegiatan rumah tangga sendirian.
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang hak dan kewajiban seorang perempuan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadist saja. Annisa tokoh utamanya ingin sekali menentang peraturan yang ada di pondok pesantren milik bapaknya sendiri. Di pondok tersebut, perempuan selalu dianggap lemah.
Simone de Beauvior, dalam The Secound sex (1949), menetapkan dengan sangat jelas masalah dasar feminisme modern. Bila seorang wanita mencoba membatasi dirinya sendiri, ia mulai dengan berkata, “Saya seorang perempuan”, tidak ada lakilaki berbuat begitu. Kenyataannya ini mengungkapkan ketaksimentrisan dasar antara istlah “maskulin” dan “feminine”. Orang laki-laki membatasi manusia bukan perempuan. Keseimbangan ini mundur ke belakang sampai ke perjanjian lama. Karena tersebar di antara orang laki-laki, para perempuan tidak mempunyai sejarah terpisah, tidak ada solidaritas; mereka telah tidak berkombinasi sebagai kelompok-kelompok tertindas yang lain. Wanita terkait dalam suatu hubungan berat sebelah dengan laki-laki; laki-laki adalah yang Satu, perempuan adalah yang Lain. Kekuasaan laki-laki telah menyelamatkan suatu iklim pemenuhan ideologis; “Para wakil rakyat, pendeta, ahli filsafat, penulis, ahli ilmu pengetahuan telah berusaha menunjukkan bahwa kedudukan wanita yang rendah diinginkan di surge dab bermanfaat di bumi.” De Beauvior mendokumentasikan tuntutannya dengan penuh ketelitian. (Raman Selden, 1985 : 136-137)
Selanjutnya, sesuai dengan pendekatan yang dipakai yaitu pendekatan feminisme dapat dipahami bahwa tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban ingin sekali menunjukkan bahwa perempuan juga bisa seperti laki-laki, bisa sekolah sampai Perguruan Tinggi dan perempuan juga perlu merdeka. Tetapi keinginan Annisa tersebut selalu dibantah oleh Bapaknya dan Kiai Ali, seorang Kiai yang mengajar di pondok pesantren.
                       
            “Baiklah anak-anak,” Pak guru mencoba menguasai suasana, “Dalam adat istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang laki-laki memiliki kewajian dan seorang perempuan juga memiliki kewajian. Kewajian seorang laki-laki, yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau dimaba saja asal bisa mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka juga memiliki kewajiban, yang terutama adalah mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu, dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiab bagi seorang perempuan. Demikian juga mendidik anak, menyuapi, menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan. Sudah paham, anak-anak….?” (Abidah El Khalieqy, 2009:12)

Aku tidak mau menjadi budak. Pun masa depan yang kerontang bukanlah impianku, juga impian siapapun. Tetapi, kepada siapa aku harus mengadu. Setelah bapak dan ibu juga bukanlah seorang yang merupakan tempat dimana aku bertanya dan mengutarakan isi hatiku. Kubayangkan Aisyah sahabatku. Ia juga tidak menjanjikan untuk perdebatan mimpi masa depan. Sementara mbak May hanya suka membincangkan irama bayati, husaini, dan hudaifi. Satu-satunya harapan yang mendengar dan membincangkan panjang lebar tentang itu hanyalah Lek Khudori. Tetapi alangkah jauhnya jarak membentang. ….?” (Abidah El Khalieqy, 2009:85)


            Dari kutipan diatas, sudah jelas bahwa kewajiban laki-laki dan permpuan itu sangat berbeda sekali. Akan tetapi Annisa sangat tidak setuju dengan pendapat pak guru tersebut. Kewajiban seorang perempuan tersebut begitu panjang, bahkan sulit untuk menghafalnya. Annisa masih bingung, antara pekerjaan laki-laki dan perempuan sangat berbeda dan Nisa juga sangat iri kepada kaum laki-laki yang bebas melakukan apa saja. Nisa juga ingin latihan berkuda, tetapi dilarang oleh bapaknya. Inilah salah satu bentuk kuasa patriarki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.
            Nisa berjanji pada dirinya sendiri, bahwa akan ada arti kemerdekaan bagi seorang perempuan, perempuan yang selalu dibawah kekuasaan Bapaknya. Perempuan tidak ada yang harus melakukan semua kewajibannya, terlihat dari kutipan yang nomor 2 tersebut bahwa Nisa ingin sekali ada seseorang yang mau mendengarkan segala unek-unek yang ada pada dirinya.

“Buku-buku tak berguna adalah semua buku yang tidak mengacu pada dalil al-qur’an dan hadis Nabi. Ya… seperti novel-novel itu, majalah atau komik-komik yang mengundang nafsu. Sedangkan cerita-cerita dalam film, selalu berisi cinta palsu dan semu, seperti yang dilihat oleh orang-orang kita yang isinya Cuma khayalan dan kebohongan serta jauh dari kenyataan hidup yang sebenarnya. Dan semua itu keluar dari otak dan mimpinya orang-orang kafir. Kalian harus paham itu! Di usia kalian seperti ini, remaja putri begitu mudah dan gampang untuk dipengaruhi, dibohongi dan dirayu oleh kebohongan-kebohongan cinta yang sengaja disuse[kan oleh para kafirun itu. Untuk merusak akidah dan akhlak kalian. Kalian dicekoki dengan ganbaran-gambaran hidup yang bebas tak kenal aturan. Jangan sampai kalian akan terjerumus. Lebih bagus lagi jika kalian sama sekali tidak membaca buku-buku selain kitab pelajaran, apalagi nonton film.” ….?” (Abidah El Khalieqy, 2009:82-83)

            Dalam kutipan di atas dapat diartikan bahwa membaca buku seperti novel itu haram hukumnya. Padahal bisa membuka mimpi bagi Nisa dan para santri lainnya di pondok.
            Konflik terjadi ketika Annisa kehilangan masa remaja yang tidak seperti teman-teman yang lainnya. Nisa harus menikah karena dijodohkan oleh Bapaknya. Baru lulus SD Nisa disuruh menikah oleh Bapaknya.
            “Terbayang kembali peristiwa pahit yang mengawali pernikahanku dengan Samsudin, laki-laki yang baru saja aku lihat wajahnya hanya satu jam sebelum akada nikah di laksanakan.” (Abidah El Khalieqy, 2009:104)

            Dalam pernikahan itulah Annisa tidak bisa bahagia. Selalu ada kekerasan yang di lakukan SAmsudin. Atas kehendak dari Bapaknya itulah yang membuat Annisa tidak bisa meninggalkan Samsudin.
“Bertanggungtawab kan tidak harus melakukan pekerjaan itu sendiri, Nisa. Bukankah urusan rumah tangga itu banyak sekali dan tangan perempuan hanya ada dua, kiri dan kanan. Jika di zaman Nabi, tradisi menghadiahi budak kepada istri adalah budaya umum, mungkin di zaman sekarang, seorang suami harus menghadiahi seorang atau beberapa pekerja rumah tangga untuk istrinya, tergantung kebutuhan dan banyaknya urusan rumah tangga. Jika suami tidak mampu memberinya seorang pembantu rumah tangga, apa itu istilahnya, PRT, maka suami harus mau turun tangan sendiri membantu istrinya. Seperti memasak, mencuci dan mengurus anak, termasuk sebagian nafkah yang harus dipenuhi oleh suami.” (Abidah El Khalieqy, 2009:175)

            Kutipan diatas menggambarkan bahwa pekerjaan rumah tangga apaun adalah tanggung jawab bersama. Itulah yang diharapkan oleh Nisa. Wanita telah dibuat lebih rendah dan tekanan ini menjadi berlipat ganda oleh keyakinan para lelaki bahwa wanita adalah lebih rendah menurut kodratnya. Gagasan abstrak tentang “persamaan” hanya permainan bibir, tetapi sedakan untuk persamaan yang nyata biasanya akan ditentang. Para wanita sendiri, bukan para lelaki yang simpatik, adalah dalam posisi terbaik untuk menilai kemungkinan-kemungkinan eksistensial kewanitaan. (Raman Selden:1985:137)



E.     Penutup
Kesimpulan
a.       Terdapat kuasa patriarki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban berupa a) perintah seorang bapak untuk menikah dengan orang yang baru dikenalnya, b)  harus selalu menuruti apa kata bapak, jika tidak ada hukuman yang harus dilaksanakan, c) kekerasan dalam rumah tangga setelah disuruh bapaknya menikah dengan orang yang tidak dikenalnya.
b.      Kisah-kisah tokoh dalam menghadapi masalah dominasi patriarki sangat berkesan. Tetap sabar dan Annisa sangat berusaha mencari solusi.
c.       Dapat menjadi media dakwah karena banyak amanat yang terdapat di novel Perempuan Berkalung Sorban ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar