Disusun
oleh
LIA
NOVIASTUTI
10210141017
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012-2013
2012-2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perlu
disadari bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia dimana ia terbebas dari
segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat apapun sesukanya, sebab sebagai
mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi dengan keluarga,
orang-orang di lingkungan hidup sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan
bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi
turun-temurun dimana suku dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang
kuat. Karena itu manusia tidak terbebas dari adat-istiadat.
Di
Daerah Istimewa Yogyakarta ada tradisi menyebutkan simbol-simbol untuk
mengungkapkan maksud agar tidak terlalu terbuka untuk mengatakannya.
Simbol-simbol tersebut berupa simbol binatang dan tumbuhan. Dari simbol binatang
kita bisa melihat bagaimana tingkah laku binatang tersebut dan disamakan dengan
tinggah laku manusia, misalnya binatang kerbau yang identik dengan pemalas
(suka tidur) maka dari kerbau tersebut masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta
menggunakan simbol kerbau untuk mengungkapkan kepada seseorang yang pemalas.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut.
1.
Simbol-simbol
hewan dan tumbuhan apakah yang ada di dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. Simbol-simbol apa
saja yang termasuk mencerminkan sikap hidup masyarakat Daerah Iistimewa Yogyakarta?
3.
Apa
makna dari simbol-simbol tersebut?
C.
Tujuan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
simbol-simbol
binatang dan tumbuhan di
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhubungan dengan sikap hidup, dan
2. Mendeskripsikan
makna
yang terdapat dalam simbol-simbol
binatang dan tumbuhan.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
1. Etnolinguistik
Antropologi
linguistik atau biasa juga disebut etnolinguistik merupakan bagian dari
antropologi yang mengkhususkan penelitiannya terhadap penyebaran bahasa umat
manusia diseluruh permukaan bumi. Para ahli antropologi linguistik melihat
adanya pertalian bahasa diantara bahasa-bahasa tertentu terutama yang serumpun,
seperti bahasa Indonesia dan Austronesia. Pertalian bahasa itu dalam ilmu
linguistik disebut “perbendaharaan yang mendasar” atau basic vocabulary. Basic
Vocabulary banyak terdapat pada nama tumbuhan-tumbuhan, binatang, nama
bilangan, dan lain-lain.
Berdasarkan
analisis terhadap basic vocabulary, para ahli antorpologi linguistik dapat
membuat hipotesis mengenai sejarah penyebaran bahasa dan umat manusia pengguna
bahasa tersebut. Antropologi linguistik di Indonesia mempelajari bahasa-bahasa
daerah yang disebut sebagai bahasa-bahasa nusantara. Jadi dapat disimpulkan
bahwa para ahli antopologi linguistik menelaah atau mempelajari timbulnya
bahasa dan bagaimana terjadinya variasi dalam bahasa-bahasa selama jangka
berabad-abad.
Sehubungan dengan nilai yang diacu dalam masyarakat,
tentunya tidak terlepas dari makna simbol yang ada pada
masyarakat. Menurut
Koentjaraningrat (1981:3), secara universal nilai budaya dalam suatu masyarakat
memiliki lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu (1) hakikat hidup manusia,
(2) hakikat karya manusia, (3) hakikat waktu manusia, (4) hakikat alam manusia,
dan (5) hakikat hubungan manusia. Lima masalah pokok tersebut terdapat dalam simbol-simbol
yang ada di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Bahasa
dan simbol
Menurut
Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang
keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk
mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang
mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah
disepakati bersama. Lukisan-lukisan,
asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus
mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi
mengandung banyak segi yang lemah.
Bahasa
memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks dari pada yang dapat
diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu
sendiri harus merupakan simbol atau perlambang.
Bahasa
merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi
ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik
badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda
yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat
diserap oleh panca indra.
Berarti
bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia,
dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang
atau hal yang diwakilinya itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang
alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah
isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan
dari orang lain).
Arti
yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer
atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian
bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan
dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis
itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.
3. Adat
Istiadat
Menurut
Koentjaraningrat (dalam buku Adat Istiadat DIY) adat istiadat adalah suatu
kompleks norma yang oleh individu-individu yang menganutnya itu dianggap ada di
atas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat. Menurut
Maciver, adat istiadat adalah merupakan aturan-aturan social yang timbulnya
secara spontan dan seolah-olah merupakan suatu keharusan yang harus
dilaksanakan atau didukung oleh setiap warganya.
Berdasarkan
dua batasan yang diajukan baik oleh Koentjaraningrat maupun Maciver tersebut,
dapat diambil suatu pengertian bahwa adat istiadat ialah suatu konsepsi abstrak
yang timbul dari sebagian besar warga masyarakat secara spontanitas, dan
merupakan peraturan yang tidak tertulis sebagai kontrol atas tingkah laku atau
sikap manusia sebagai warga suatu masyarakat. Secara spontanitas dan merupakan
peraturan yang tidak tertulis sebagai pedoman tingkah laku atau sikap manusia
sebagai warga suatu masyarakat.
BAB
III
PEMBAHASAN
Bahasa
merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi
ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik
badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda
yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat
diserap oleh panca indra.
Masyarakat
di Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai simbol berupa simbol binatang dan
tumbuhan yang mempunyai tujuan untuk menunjukkan sikap dan perbuatannya /
tingkah lakunya kadang-kadang tidak dinyatakan secara terus terang, tetapi
dengan tersamar. Simbol tersebut diucapkan berupa kalimat sindiran ataupun
dengan kalimat nyata.
A. Simbol
yang Berwujud Binatang
Simbol
|
Arti Leksikal
|
Makna
|
Kancil
|
Binatang pemakan tanaman
yang cepat larinya
|
Kecerdikan dan kelicikan,
|
Harimau
|
Binatang buas, pemakan
daging, rupanya seperti kucing besar
|
Keganasan, terbukti adanya
kata-kata “galak kaya macan” (ganasnya seperti harimau)
|
Ular
|
Binatang melata, tidak
berkaki, tubuhnya agak bulat memanjang, kulitnya bersisik, hidup di tanah
atau di air, ada yang berbisa ada yang tidak
|
Lambang pendirian yang
tidak tetap (tidak dapat dipercaya). Hal ini karena apabila melihat ular
kalau berjalan tubuhnya berkelok-kelok.
|
Gajah
|
Binatang menyusui
berbelalai, bergading, berkaki besar, berkulit tebal, berbulu abu-abu (ada
juga yang putih), berdaun telinga lebar, dan hidupnya menggerombol di hutan
|
Lambang keagungan. Pada
jaman dahulu gajah merupakan kendaraan bangsawan.
|
Kidang
|
Kijang
|
Lambang kecepatan.
|
Garuda
|
Burung besar pemakan
daging yang menyerupai elang dan mempunyai kekuatan terbang yang luar biasa
(yang sudah punah, dan sekarang hanya dl dongeng)
|
Lambang keagungan. Dapat
dilihat dari lambang Negara RI yang berwujud burung garuda.
|
Banteng
|
Lembu hutan (lembu yang
masih liar)
|
Lambang kerakyatan
|
Belut
|
Ikan yang bentuknya
panjang seperti ular, kulitnya licin, biasa hidup di lumpur
|
Melambangkan orang yang
sikap dan perbuatannya sulit untuk diikuti.
|
Kerbau
|
Binatang memamah biak yang
biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak,
menarik pedati)
|
Melambangkan sifat
pemalas.
|
Masyarakat
DIY pada umumnya menggunakan simbol-simbol binatang seperti pada tabel di atas.
Masyarakat mempercayainya karena simbol-simbol tersebut merupakan warisan
secara turun temurun dari nenek moyang dan dapat menjadi cerminan dan pedoman dalam menjalani
kehidupan. Banyak
ditemukan ungkapan simbol-simbol dikehidupan sehari-hari yang diungkapkan oleh
masyarakat DIY, misalnya “kancil” kancil adalah hewan yang cerdik sehingga
masyarakat DIY memberi makna “kancil” sebagai kecerdikan dan kelicikan.
Masyarakat DIY memilih hewan kancil karena kancil dulunya hanya terdapat dalam
dongeng-dongeng bahwa tokoh kancil pandai menipu binatang yang lebih besar
sehingga masyarakat memaknainya kecerdikan dan kelicikan. Misalnya dalam
kata-kata malinge kaya kancil (maling
seperti kancil).
Simbol-simbol
tersebut banyak ditemukan yang berhubungan dengan sikap hidup dan perilaku
masyarakat DIY. Simbol-simbol memberikan pemaknaan yang mencitrakan baik dan buruk,
dengan kata lain terdapat
simbol positif dan
negatif.
Simbol
“kancil, kerbau, harimau, ular dan belut”
mempunyai nilai makna negatif. Kata-kata seperti kancil, harimau, ular dan
belut sering muncul saat masyarakat melihat seseorang yang berperilaku tidak
sopan saat berada di lingkungan masyarakat.
Simbol
“gajah, banteng, kidang dan garuda”
mempunyai nilai makna pisitif. Dapat dilihat pada “banteng” yang merupakan
lambang kerakyatan dapat dilihat dalam dasar Negara Republik Indonesia. Di
samping itu banteng juga sebagai lambang keberanian, terbukti dalam kata-kata prajurit perang tandane kaya banteng ketaton
(prajurit yang berperang tingkahnya seperti banteng terluka).
B. Simbol
yang berwujud Tumbuh-tumbuhan
Simbol
|
Arti leksikal
|
Makna
|
Tuwuhan (pada upacara
supitan)
|
Tumbuhan yang digunakan sebagai
pajangan yang diletakkan di dekat pintu, berupa pisang setangkai, tebu, dan
kelapa
|
Berupa pengharapan agar
putra para raja yang akan di sunat itu kelak hidup tentram sehingga menjamin
kehidupan sanak keluarga dan semua rakyat yang menjadi tanggungjawabnya.
|
Tarub (pada upacara
pernikahan)
|
yang dipakai sebagai atap
untuk sementara (selama upacara berlangsung dsb) dengan atap bleketepe (daun kelapa dianyam)
|
Melambangkan bahwa
pasangan pengantin itu sudah tiba waktunya untuk tidak bergantung lagi kepada
orang tuanya dan harus berumah tangga sendiri.
|
Janur kuning
|
Daun kelapa muda yang
berwarna kuning
|
Melambangkan bahwa
tetangga tidak boleh tahu jika ada permasalahan dalam rumah tangga
|
Tebu
|
Sejenis tumbuh-tumbuhan
yang makin tua umurnya rasanya makin manis
|
Makin lama orang berumah
tangga makin harmonis
|
Daun beringin
|
Daun dari pohon beringin
|
Melambangkan bagi calon
manten agar dapat dijadikan pengayoman bagi orang tuanya bila sudah jompo.
|
Selain binatang, terdapat juga simbol
yang berwujud tumbuh-tumbuhan seperti yang terdapat pada tabel di atas. Dalam
upacara-upacara yang dihubungkan dengan life
cycle juga ada yang menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai simbol tertentu,
misalnya pada waktu upacara tedak sinten,
supitan dan pernikahan.
Simbol “tarub” pada upacara
pernikahan berwujud rumah darurat (tambahan) dengan atap bleketepe (daun kelapa dianyam) sebagai lambang bahwa pasangan
pengantin itu sudah tiba waktunya untuk tidak bergantung lagi kepada orang
tuanya dan harus berumah tangga sendiri. Atap tarub dibuat dari daun kelapa ini
melambangkan bahwa pasangan suami istri baru tersebut harus segera punya rumah
dan pekarangan sendiri. Menurut etimologi tarub berasal dari kata nata (mengatur) dan urub (nyala). Maksudnya mengatur nyalanya api asmara agar mempunyai
keturunan yang baik.
Hiasan lain yang mengandung simbol
ialah tebu, cengkir gading dan daun beringin. Tebu adalah jenis tumbuh-tumbuhan
yang makin tua umurnya rasanya makin manis. Hal ini memberikan harapan,
hendaknya makin lama orang berumah tangga itu makin harmonis apalagi kalau
sudah beranak cucu. Daun beringin sebagai lambang bagi sepasang pengantin agar
dapat dijadikan pengayoman bagi orang tuanya bila sudah jompo, karena pohon
beringin adalah pohon besar sehingga dibawahnya dapat dipakai tempat
perlindungan. Ringin dapat dijarwa dasa sebagai mari kepengin maksudnya karena sudah punya suami/istri maka harus
tidak ingin lagi kepada pria/wanita yang lain.
BAB
IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam cara menyatakan
isi hatinya atau penghargaannya atau dalam menunjukkan sikap dan perbuatannya /
tingkah lakunya kadang-kadang tidak dinyatakan secara terus terang, tetapi
dengan tersamar. Hal ini terlihat jelas dengan adanya cara-cara tertentu, sikap
dan perbuatan yang dinyatakan secara simbolis. Hal tersebut adalah merupakan
pernyataan adat istiadat yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir
dari orang yang tinggal di dalam masyarakat setempat. Dapat juga diartikan
sebagai konsepsi abstrak yang disebut Nilai Budaya yang mengatur sikap dan
perbuatan negatif individu yang mendukungnya.
Simbol-simbol
tersebut banyak ditemukan yang berhubungan dengan sikap hidup dan perilaku
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Simbol-simbol memberikan
pemaknaan yang mencitrakan baik dan buruk, dengan kata lain terdapat simbol positif dan negatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1974. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. 1976/1977. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://ekawyna.blogspot.com/2009/05/antropolinguistik.html
diunduh pada 23 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar