Minggu, 19 Januari 2014

Makna Simbol Binatang dan Tumbuhan dalam Adat Istiadat di Daerah Istimewa Yogyakarta Kajian Etnolinguistik


Disusun oleh
LIA NOVIASTUTI
10210141017



BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012-2013
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Perlu disadari bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia dimana ia terbebas dari segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat apapun sesukanya, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi dengan keluarga, orang-orang di lingkungan hidup sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi turun-temurun dimana suku dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang kuat. Karena itu manusia tidak terbebas dari adat-istiadat.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta ada tradisi menyebutkan simbol-simbol untuk mengungkapkan maksud agar tidak terlalu terbuka untuk mengatakannya. Simbol-simbol tersebut berupa simbol binatang dan tumbuhan. Dari simbol binatang kita bisa melihat bagaimana tingkah laku binatang tersebut dan disamakan dengan tinggah laku manusia, misalnya binatang kerbau yang identik dengan pemalas (suka tidur) maka dari kerbau tersebut masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan simbol kerbau untuk mengungkapkan kepada seseorang yang pemalas.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.      Simbol-simbol hewan dan tumbuhan apakah yang ada di dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta?
2.      Simbol-simbol apa saja yang termasuk mencerminkan sikap hidup masyarakat Daerah Iistimewa Yogyakarta?
3.      Apa makna dari simbol-simbol tersebut?


C.    Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan simbol-simbol binatang dan tumbuhan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhubungan dengan sikap hidup, dan
2.      Mendeskripsikan makna yang terdapat dalam simbol-simbol binatang dan tumbuhan.



















BAB II
KAJIAN TEORI


1.      Etnolinguistik
Antropologi linguistik atau biasa juga disebut etnolinguistik merupakan bagian dari antropologi yang mengkhususkan penelitiannya terhadap penyebaran bahasa umat manusia diseluruh permukaan bumi. Para ahli antropologi linguistik melihat adanya pertalian bahasa diantara bahasa-bahasa tertentu terutama yang serumpun, seperti bahasa Indonesia dan Austronesia. Pertalian bahasa itu dalam ilmu linguistik disebut “perbendaharaan yang mendasar” atau basic vocabulary. Basic Vocabulary banyak terdapat pada nama tumbuhan-tumbuhan, binatang, nama bilangan, dan lain-lain.
Berdasarkan analisis terhadap basic vocabulary, para ahli antorpologi linguistik dapat membuat hipotesis mengenai sejarah penyebaran bahasa dan umat manusia pengguna bahasa tersebut. Antropologi linguistik di Indonesia mempelajari bahasa-bahasa daerah yang disebut sebagai bahasa-bahasa nusantara. Jadi dapat disimpulkan bahwa para ahli antopologi linguistik menelaah atau mempelajari timbulnya bahasa dan bagaimana terjadinya variasi dalam bahasa-bahasa selama jangka berabad-abad.
Sehubungan dengan nilai yang diacu dalam masyarakat, tentunya tidak terlepas dari makna simbol yang ada pada masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1981:3), secara universal nilai budaya dalam suatu masyarakat memiliki lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat waktu manusia, (4) hakikat alam manusia, dan (5) hakikat hubungan manusia. Lima masalah pokok tersebut terdapat dalam simbol-simbol yang ada di masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.      Bahasa dan simbol
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama.  Lukisan-lukisan, asap api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi yang lemah.
            Bahasa memberikan kemungkinan yang jauh lebih luas dan kompleks dari pada yang dapat diperoleh dengan mempergunakan media tadi. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri harus merupakan simbol atau perlambang.
Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu  mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.
Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain).
Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.

3.      Adat Istiadat
Menurut Koentjaraningrat (dalam buku Adat Istiadat DIY) adat istiadat adalah suatu kompleks norma yang oleh individu-individu yang menganutnya itu dianggap ada di atas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat. Menurut Maciver, adat istiadat adalah merupakan aturan-aturan social yang timbulnya secara spontan dan seolah-olah merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan atau didukung oleh setiap warganya.
Berdasarkan dua batasan yang diajukan baik oleh Koentjaraningrat maupun Maciver tersebut, dapat diambil suatu pengertian bahwa adat istiadat ialah suatu konsepsi abstrak yang timbul dari sebagian besar warga masyarakat secara spontanitas, dan merupakan peraturan yang tidak tertulis sebagai kontrol atas tingkah laku atau sikap manusia sebagai warga suatu masyarakat. Secara spontanitas dan merupakan peraturan yang tidak tertulis sebagai pedoman tingkah laku atau sikap manusia sebagai warga suatu masyarakat. 

















BAB III
PEMBAHASAN


Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu  mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.
            Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai simbol berupa simbol binatang dan tumbuhan yang mempunyai tujuan untuk menunjukkan sikap dan perbuatannya / tingkah lakunya kadang-kadang tidak dinyatakan secara terus terang, tetapi dengan tersamar. Simbol tersebut diucapkan berupa kalimat sindiran ataupun dengan kalimat nyata.

A.    Simbol yang Berwujud Binatang
Simbol
Arti Leksikal
Makna
Kancil
Binatang pemakan tanaman yang cepat larinya
Kecerdikan dan kelicikan,
Harimau
Binatang buas, pemakan daging, rupanya seperti kucing besar
Keganasan, terbukti adanya kata-kata “galak kaya macan” (ganasnya seperti harimau)
Ular
Binatang melata, tidak berkaki, tubuhnya agak bulat memanjang, kulitnya bersisik, hidup di tanah atau di air, ada yang berbisa ada yang tidak
Lambang pendirian yang tidak tetap (tidak dapat dipercaya). Hal ini karena apabila melihat ular kalau berjalan tubuhnya berkelok-kelok.
Gajah
Binatang menyusui berbelalai, bergading, berkaki besar, berkulit tebal, berbulu abu-abu (ada juga yang putih), berdaun telinga lebar, dan hidupnya menggerombol di hutan
Lambang keagungan. Pada jaman dahulu gajah merupakan kendaraan bangsawan.
Kidang
Kijang
Lambang kecepatan.
Garuda
Burung besar pemakan daging yang menyerupai elang dan mempunyai kekuatan terbang yang luar biasa (yang sudah punah, dan sekarang hanya dl dongeng)
Lambang keagungan. Dapat dilihat dari lambang Negara RI yang berwujud burung garuda.
Banteng
Lembu hutan (lembu yang masih liar)
Lambang kerakyatan
Belut
Ikan yang bentuknya panjang seperti ular, kulitnya licin, biasa hidup di lumpur
Melambangkan orang yang sikap dan perbuatannya sulit untuk diikuti.
Kerbau
Binatang memamah biak yang biasa diternakkan untuk diambil dagingnya atau untuk dipekerjakan (membajak, menarik pedati)
Melambangkan sifat pemalas.

Masyarakat DIY pada umumnya menggunakan simbol-simbol binatang seperti pada tabel di atas. Masyarakat mempercayainya karena simbol-simbol tersebut merupakan warisan secara turun temurun dari nenek moyang dan dapat menjadi cerminan dan pedoman dalam menjalani kehidupan.  Banyak ditemukan ungkapan simbol-simbol dikehidupan sehari-hari yang diungkapkan oleh masyarakat DIY, misalnya “kancil” kancil adalah hewan yang cerdik sehingga masyarakat DIY memberi makna “kancil” sebagai kecerdikan dan kelicikan. Masyarakat DIY memilih hewan kancil karena kancil dulunya hanya terdapat dalam dongeng-dongeng bahwa tokoh kancil pandai menipu binatang yang lebih besar sehingga masyarakat memaknainya kecerdikan dan kelicikan. Misalnya dalam kata-kata malinge kaya kancil (maling seperti kancil).
Simbol-simbol tersebut banyak ditemukan yang berhubungan dengan sikap hidup dan perilaku masyarakat DIY. Simbol-simbol memberikan pemaknaan yang mencitrakan baik dan buruk, dengan kata lain terdapat simbol  positif dan negatif.
Simbol “kancil, kerbau, harimau, ular dan belut” mempunyai nilai makna negatif. Kata-kata seperti kancil, harimau, ular dan belut sering muncul saat masyarakat melihat seseorang yang berperilaku tidak sopan saat berada di lingkungan masyarakat.
Simbol “gajah, banteng, kidang dan garuda” mempunyai nilai makna pisitif. Dapat dilihat pada “banteng” yang merupakan lambang kerakyatan dapat dilihat dalam dasar Negara Republik Indonesia. Di samping itu banteng juga sebagai lambang keberanian, terbukti dalam kata-kata prajurit perang tandane kaya banteng ketaton (prajurit yang berperang tingkahnya seperti banteng terluka).

B.     Simbol yang berwujud Tumbuh-tumbuhan
Simbol
Arti leksikal
Makna
Tuwuhan (pada upacara supitan)
Tumbuhan yang digunakan sebagai pajangan yang diletakkan di dekat pintu, berupa pisang setangkai, tebu, dan kelapa

Berupa pengharapan agar putra para raja yang akan di sunat itu kelak hidup tentram sehingga menjamin kehidupan sanak keluarga dan semua rakyat yang menjadi tanggungjawabnya.
Tarub (pada upacara pernikahan)
yang dipakai sebagai atap untuk sementara (selama upacara berlangsung dsb) dengan atap bleketepe (daun kelapa dianyam)
Melambangkan bahwa pasangan pengantin itu sudah tiba waktunya untuk tidak bergantung lagi kepada orang tuanya dan harus berumah tangga sendiri.
Janur kuning
Daun kelapa muda yang berwarna kuning
Melambangkan bahwa tetangga tidak boleh tahu jika ada permasalahan dalam rumah tangga
Tebu
Sejenis tumbuh-tumbuhan yang makin tua umurnya rasanya makin manis
Makin lama orang berumah tangga makin harmonis
Daun beringin
Daun dari pohon beringin
Melambangkan bagi calon manten agar dapat dijadikan pengayoman bagi orang tuanya bila sudah jompo.

            Selain binatang, terdapat juga simbol yang berwujud tumbuh-tumbuhan seperti yang terdapat pada tabel di atas. Dalam upacara-upacara yang dihubungkan dengan life cycle juga ada yang menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai simbol tertentu, misalnya pada waktu upacara tedak sinten, supitan dan pernikahan.
            Simbol “tarub” pada upacara pernikahan berwujud rumah darurat (tambahan) dengan atap bleketepe (daun kelapa dianyam) sebagai lambang bahwa pasangan pengantin itu sudah tiba waktunya untuk tidak bergantung lagi kepada orang tuanya dan harus berumah tangga sendiri. Atap tarub dibuat dari daun kelapa ini melambangkan bahwa pasangan suami istri baru tersebut harus segera punya rumah dan pekarangan sendiri. Menurut etimologi tarub berasal dari kata nata (mengatur) dan urub (nyala). Maksudnya mengatur nyalanya api asmara agar mempunyai keturunan yang baik.
            Hiasan lain yang mengandung simbol ialah tebu, cengkir gading dan daun beringin. Tebu adalah jenis tumbuh-tumbuhan yang makin tua umurnya rasanya makin manis. Hal ini memberikan harapan, hendaknya makin lama orang berumah tangga itu makin harmonis apalagi kalau sudah beranak cucu. Daun beringin sebagai lambang bagi sepasang pengantin agar dapat dijadikan pengayoman bagi orang tuanya bila sudah jompo, karena pohon beringin adalah pohon besar sehingga dibawahnya dapat dipakai tempat perlindungan. Ringin dapat dijarwa dasa sebagai mari kepengin maksudnya karena sudah punya suami/istri maka harus tidak ingin lagi kepada pria/wanita yang lain.


BAB IV
KESIMPULAN

            Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam cara menyatakan isi hatinya atau penghargaannya atau dalam menunjukkan sikap dan perbuatannya / tingkah lakunya kadang-kadang tidak dinyatakan secara terus terang, tetapi dengan tersamar. Hal ini terlihat jelas dengan adanya cara-cara tertentu, sikap dan perbuatan yang dinyatakan secara simbolis. Hal tersebut adalah merupakan pernyataan adat istiadat yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir dari orang yang tinggal di dalam masyarakat setempat. Dapat juga diartikan sebagai konsepsi abstrak yang disebut Nilai Budaya yang mengatur sikap dan perbuatan negatif individu yang mendukungnya.
Simbol-simbol tersebut banyak ditemukan yang berhubungan dengan sikap hidup dan perilaku masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Simbol-simbol memberikan pemaknaan yang mencitrakan baik dan buruk, dengan kata lain terdapat simbol  positif dan negatif.




DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. 1976/1977. Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar