Rabu, 06 Juli 2011

A Miracle (cerita pendek)

Aku duduk termenung sendiri di kamar. Aku tersadar, aku hanyalah orang yang sudah dianggap nakal di sekolah. Teman-teman selalu sebal dengan ku karena aku sering sekali usil kepadanya. Namun, teman-teman sangat sayang kepada ku, nggak seperti kedua orang tua ku. Papa ku sibuk kerja dan mama ku hanya sibuk mengurus kakak ku, yuup anak yang selalu dibanggakan. Aku orang yang bodoh dimata mereka. Aku nggak punya pembela di rumah. Aku selalu merasa sendiri, ehh tapi untung saja aku punya Ifan, cowok yang baiiiiik banget, slalu nemenin aku, nahh dia itu cowok ku. Tetapi Ifan udah kelas 12.
            Aku selalu menghabiskan waktu ku di sekolah. Aku menjadi anggota mading dan aku sangat suka menulis. Hari ini ada lomba mading se-DIY dan Jateng. Tentunya aku menjadi ketua kelompok mading ku dong.
            “Vik, pimpin kelompok mading ini sebaik mungkin dan harus menang lhooo.” Kata Ibu Mala, guru pembimbing tim madding kami.
            “Okee bu, siap deehh” kata ku penuh semangat.
            Tiap hari aku slalu nglembur mengerjakan mading, karena juga dikejar oleh waktu. Cuma dikasih waktu dua minggu. Sore ini akan menjadi pekerjaan buat kami, karena besoknya udah penilaian. Akhirnya mading jadi juga dan tepat jam 8 malam kami baru mau pulang.
            “Vika…” teriak Ifan memanggil ku. Ifan mungkin sengaja nongkrong didepan sekolah untuk menunggui ku, dan menjemput aku.
            Dengan jalan santai aku mendekatinya. “Udah dari tadi yaa nunggunya? Sori ya Fan.” Kata ku.
            “Udah dari kemaren kali.” Ucapnya dengan nada bercanda. “Udah makan belum Vik?”
            “Belum neh, temenin aku makan yuk. Ditempat biasa yaa.”
            Nggak peduli nanti mau sampe rumah jam brapa. Aku pokoknya udah tidak peduli. Yang mama peduliin hanyalah kakak ku. Tiap malam aku juga sering sih dimarahin, tapi nggak berdampak buruk bagi mereka.
            “Mampir dulu nggak Fan?”
            “Nggak udah lahh Vik, udah jam 10 juga.”
            “Tapi makasih yaa.”
            Tiba-tiba mama dari depan pintu sudah teriak memanggil ku. “Vikaaa, cepat masuk.”
            “Aku pulang yaa Vik, yang sabar yaa.”
            Aku dimarahi mama diruang tamu. Dikatain anak inilah, itulahh sesuatu kata-kata yang tidak ingin aku dengar. Ntah mengapa mama memperlakukan aku seperti ini. Kalo kata Ifan sih supaya aku jadi anak baik-baik dan nggak nakal. Tapi apa kenyataannya, it’s imposible.
            Aku lalu mengurung diri di kamar, dan aku hanya bisa menulis. Aku selalu menulis ketika aku habis dimarahi sama mama. Menulis apa aja yang aku pengen tulis dan akhirnya aku bisa menulis sebuah novel. Sayangnya papa nggak setiap hari di rumah. Aku kangen papa yang selalu membela aku.

***
            “Yey, kita juara 2….” Teriak ku penuh bangga.
            Tim kami memenangkan lomba mading itu, dan aku bisa tertawa penuh bangga. Disamping ku juga ada Ifan, yang tak kalah menebarkan seyumnya penuh bangga.
            Aku merayakan kejuaraan ini dengan Ifan, tapi Ifan terlihat agak sedih saat ingin bicara serius dengan ku.
            “Kamu kenapa sih Fan? Kok kayaknya nggak seneng gitu sih?” tanyaku penasaran.
            “Aku mau pulang Vik.”
            “Lhoo kita kan baru sebentar disini, ini juga masih jam 7.”
            “Bukan itu maksud aku. Aku mau pulang ke Jakarta.” Ucap Ifan lirih, karena nggak mau nyakitin hati aku. Karena aku juga masih sangat butuh Ifan disisiku.
            “Apaaa?” air mata ku menetes begitu mendengarnya.
            Berualang kali Ifan minta maaf kepada ku dan aku hanya bisa menangis. Aku ingin dekat terus dengan Ifan. Tapi ini karena permintaan orangtua Ifan yang menginginkan Ifan untuk kuliah di Jakarta. Aku terus menangis dalam dekapannya.
            Sesampai di rumah, tidak ada yang menanyakan tentang kejuaraan ku. Aku masuk kamar dan menulis. Rasanya aku ingin ikut Ifan ke Jakarta. Tapi itu sangat tidak mungkin. Aku masih harus sekolah dan aku harus tambah rajin belajar karena aku udah memasuki kelas 12.
            Sore ini aku mengantar Ifan ke Bandara. Aku terus saja menangis, karena aku nggak sanggup bila tanpa Ifan. Hari-hari ku pasti akan kosong.
            “Udahlah Vik, jangan nangis gitu ahh, jelek tau.”
            Aku terdiam dalam dekapannya.
            “Aku janji dehh, tiap liburan aku ke Jogja buat ketemu kamu.”
            Aku masih diam.
            “Kamu juga boleh kok maen ke Jakarta.”
            Setelah mendengar bahwa pesawat Ifan akan segera berangkat, aku beranikan diri menatap wajahnya dan mencium tangannya. Ifan melakukan hal yang sama, dan Ifan mencium kening ku.
            “Aku selalu merindukan mu, jangan sampai kita putus komunikasi.” Aku lalu melepaskan tangannya perlahan dan Ifan berjalan menuju pintu masuk.
           
***
            Beberapa bulan kemudian.
            Aku menjadi sering pulang malam, aku selalu nongkrong bersama teman-teman. Dan aku sering sekali dimarahin mama. Tapi inilah aku, aku bosan dengan kelakuan mama yang selalu mengekangku dan aku cemburu dengan perlakuan mama terhadap kakak ku.
            Liburan semester pun tiba, tetapi Ifan belum juga libur. Aku udah kangen banget dengan Ifan. Aku tidak mau terus-terusan kebayang Ifan. Aku memutuskan untuk maen sepuasnya bersama teman-teman.
            Aku pulang pagi, tepat adzan subuh aku baru pulang. Mama sangat marah kepada ku. Sampai-sampai mama menyuruh ku untuk tidak pulang saja.
            “Oke aku turuti permintaan mama. Good bye mom!”
            Mama hanya menangis melihat ku membawa tas besar dan pergi meninggalkan rumah. Mungkin aku sudah dosa besar sama mama. Aku bingung mau kemana. Dan akhirnya aku menghubungi Ifan. Aku nekat ke Jakarta sendirian.
            “Ifaaan.” Begitu aku melihat Ifan datang untuk menjemputku, aku langsung memeluknya.
            “Kamu kok sampai kabur kayak gini sihh, gimana kalo mama kamu nyari.”
            “Nggak bakal mama nyari aku. Mama juga nggak peduli ma aku, bahkan ma bakat aku yang suka menulis dan tulisan ku udah dimuat dimedia massa, mama juga nggak peduli.”
            “Terus rencananya kamu mau ngapain disini?”
            “Yaa ketemu kamu dong.”
            Diperjalanan menuju rumah Ifan kami ngobrol dan melepas kerinduan yang slama ini kita pendam. Aku diperkenalkan dengan orangtuanya Ifan, sedikit agak malu juga nih. Untungnya sama mama dan papa Ifan nggak keberatan kalo aku beberapa hari ini akan nginap di rumahnya. Aku juga dikenalin dengan Rara, adik kandung Ifan. Ternyata Rara juga sangat suka menulis. Aku bisa sharing ma Rara soal tulisan. Namun, sayangnya Rara masih kelas 2 SMP hehe.
            Rencana hari in aku mau jalan-jalan bersama Ifan. Aku mau ke Dufan untuk melepas segala penat yang ada. Setelah capek maen, aku berdua duduk beli minum dan mengobrol.
            “Kalo misalkan mama kamu tau kamu ma aku gimana Vik?” Tanya Ifan.
            “Yaa udaahh nggak papa kan Fan? Aku malah minta papa jemput aku kesini.”
            “Hah kamu bilang ma papa kamu?”
            “Iyaa dong Fan, papa ku juga baru ada kerja di Bandung kok.”
            “Oiyaa bay the way gimana tulisan kamu yaaa Vik, yang beberapa bulan lalu kamu kirim ke penerbit novel remaja?”
            “Iyaa aku belum tau Fan, moga aja udah diterbitin hehehe. Kalo misal diterbitin papa aku yang paling tau pertama, aku cantumin alamat kantor papa sama alamat email papa. Aku nggak mau nyantumin alamat rumah. Nanti malah diambil sama nenek sihir itu hehe.”
            “Heh kamu ini, biar bagaimanapun dia itu mama kamu.”
            “Lebih tepatnya mama tiri. Udah yuk pulang. Udah capek. Adek mu juga udah nunggu aku tuh, mau nulis bareng.”

***
            “Papa…” papa tiba-tiba ada didepan pintu rumah Ifan. Aku seneng papa jadi jemput aku.
            “Coba tebak Vik, papa bawa apa buat kamu?” aku sangat penasaran tapi beda dengan Ifan, mungkin Ifan udah tau. Hadehh dasar Ifan kok nggak ngasih tau aku sih.
            “Apa pa? Vika penasaran neh.”
            “Ini novel pertama kamu udah terbit sayang.” Kata papa dengan bangga.
            “Wow…” aku sangat terkejut.
            “Papa tau, isinya ini perasaan hati kau kan Vik. Biar bagaimanapun dia itu mama kamu sayang.”
            “Iya lebih tepatnya mama tiri papa.”
            “Tapi papa mau ngabulin permintaan kamu sesuai akhir cerita kamu ini. Kita sekeluarga akan pindah ke Bandung. Yaa supaya kamu bisa dekat dengan Ifan lagi, dan dekat dengan papa terus. Papa mulai bulan depan udah menetap kerja di Bandung.”
            “Aaa makasiih papa, Vika sayang banget ma papa.”
           
            Sejak itulah kehidupan ku penuh dengan warna lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar